Apa bedanya?
Pada level ini, hanya propaganda yang masif, yang berhasil menyakinkan kita bahwa ‘pintu ulama-ulamanya’ organisasi tersebut selalu terbuka sementara (ulama) NU-Muhammadiyah terlalu tinggi dan elitis.’
Pernyataan tersebut tidak ilmiah mengingat tidak disebutkan berapa pintu yang terbuka dan yang tertutup. Berapa, dimana, dan bagaimana perbandingannya?
Pintu ormas yang dibubarkan tersebut juga bermasalah. Pintu tersebut belakangan menerima tamu intelejen dari negara asing yang justru berbahaya bagi kedaulatan negara dan bangsa.
Fakta semacam ini tentu tidak mudah difahami oleh kelas menengah ibukota yang kesadaran politiknya baru muncul sejak tahun 2016, dan menyatakan diri sebagai salah satu pendukung calon gubernur Ibukota yang menggunakan politik identitas sebagai cara meraih kekuasaan–tanpa rasa malu.
Pandji hanya melihat sebagian riset yang menunjukan peran ormas yang sudah dibubarkan pemerintah itu dalam sosial kemasyarakatan, namun melupakan bahwa ketertarikan masyarakat untuk menjadi bagian organisasi tersebut juga karena daya pikat yang dihasilkan oleh serangkaian ‘gagah-gagahan’ perihal melanggar hukum.
Baliho yang menyesaki ruang publik, blokade pada aparat dan rombongan berbaju putih yang sering melanggar lampu merah tentu tidak akan terasa oleh kelas menengah seperti Pandji.
Oleh sebab itu Pandji melupakan fakta mengapa banyak anak muda perkotaan justru lebih tertarik dengan organisasi tersebut yang seolah-olah adalah robinhood dengan topeng Sweeping atau mungkin topeng robinhood dengan sweeping.
Sekali lagi, daya pikat ormas tersebut terdapat pada saat anak muda mendapatkan keistimewaan (privilege) ketika melakukan pelanggaran hukum dengan dalih agama. Sebagai warga Jakarta, tengoklah tradisi SOTR pada waktu sahur dengan dalih agama, justru menambah kriminalitas remaja. Organisasi tersebut secara resmi menawarkan keistimewaan semacam itu.
Oleh sebab itu, meskipun hidup di Jakarta, sebagai kelas menengah ibukota Pandji melupakan fakta lain seperti fenomena munculnya kelas menengah di kota menengah yang diteliti Gerry van Klinken dan Berenschot, bahwa–mengutip Noorhadi Hasan–pola konsumsi kelas menengah bukan hanya representasi budaya semata, namun juga pernyataan politik (Klinken, 2016).
Tampilkan Semua