Belakangan, saya dapat informasi, ternyata banyak perempuan perempuan yang menjadi “tulang punggung” bukan “tulang rusuk” keluarga. Baik karena kematian suaminya, diceraikan, ditelantarkan, ataupun suaminya tidak mampu lagi menghidupi keluarga karena beberapa hal.
Ada kisah menarik, salah seorang anak perempuan yang dibesarkan oleh ibu ibu yang hebat ini, akan menikah. Dan penghulu bertanya, mana wali nya?, sambil meleleh air mata , Sang ibu menjawab, ada. Tapi sejak anak anak kecil sampai dewasa ia tidak terlibat apapun, saya tidak rela jika ia tiba tiba menjadi wali dari anak anak yang saya besarkan sendiri. Bagaimana bisa ia yang jadi wali, lah sejak awal ia tidak bertanggung jawab, tegas nya.
Dari beberapa kisah itu, saya berfikir, andaikata Indonesia mengikuti Imam Hanafi, dimana ibu boleh menjadi wali nikah dari putri putrinya, maka selesai. Namun UU perkawinan dan KHI kita, masih sangat Syafi’iyah. Yang hanya mengizinkan ayah sebagai wali, tidak ada pengecualian, sekalipun ia tidak bertanggung jawab.
Mungkin, saatnya, perlu dipikirkan revisi UU Perkawinan. Seharusnya UU perkawinan itu, memberikan pengecualian pengecualian, seperti dalam tradisi fiqih yang kaya aqwal. Jangan satu pendapat. Jika UU hanya memuat satu pendapat, itu artinya UU membunuh nalar kritis (ijtihad) para penghulu-penghulu, dan harus mengikuti hanya satu pendapat itu. UU kadang lebih kejam dari Fiqih, fiqih memberikan ruang yang lain, sementara UU tidak.
Wallahu A’lam
Imam Nakha’i
Situbondo 02 07 23